Pendahuluan: Generasi yang Terjebak Antara Krisis dan Potensi
Kaum muda saat ini tumbuh di dunia yang paradoks—satu yang lebih saling terhubung, terdidik, dan diberdayakan secara digital daripada sebelumnya, namun sangat terpecah oleh gangguan iklim, ketidakstabilan ekonomi, ketidaksetaraan sosial, dan volatilitas politik. Generasi Z dan Gen Alpha yang sedang muncul sering digambarkan sebagai generasi yang paling terhubung dalam sejarah, tetapi mereka juga salah satu yang paling cemas, kelelahan, dan tidak pasti tentang masa depan mereka. Dari gangguan pembelajaran akibat pandemi hingga krisis kesehatan mental yang meningkat, dari ketakutan akan keruntuhan ekologi hingga pengalaman hidup ketidakadilan rasial atau diskriminasi gender, kaum muda saat ini menghadapi tantangan yang bersifat sistemik dan sangat pribadi.

Namun demikian, di tengah kompleksitas ini, kaum muda tidak tinggal diam. Mereka mengorganisir pemogokan iklim, mendirikan startup, menulis ulang narasi tentang gender dan identitas, mengembangkan teknologi sumber terbuka, mendorong pendidikan yang adil, dan membentuk kembali kebiasaan konsumen menuju keberlanjutan dan etika. Mereka tidak hanya bereaksi terhadap dunia—mereka secara aktif membayangkannya kembali. Hari Pemuda Internasional, yang didirikan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1999, dimaksudkan untuk menyoroti potensi ini. Namun, bagi banyak kaum muda, peringatan tahunan dan pernyataan simbolis tidak lagi cukup. Apa yang mereka tuntut—dan layak dapatkan—adalah komitmen nyata, partisipasi yang berarti dalam pemerintahan, dan struktur yang mencerminkan urgensi kekhawatiran mereka.
Ini adalah generasi yang kompas moralnya dibentuk tidak hanya oleh aspirasi tetapi juga oleh kebutuhan. Dihadapkan dengan keadaan darurat yang tumpang tindih, kaum muda saat ini mewujudkan bentuk harapan radikal yang unik—harapan bukan sebagai penyangkalan terhadap realitas, tetapi sebagai komitmen untuk transformasi meskipun demikian. Hari Pemuda Internasional, dalam konteks ini, menjadi perayaan sekaligus tantangan: kesempatan untuk mendengarkan lebih dalam, bertindak lebih adil, dan bersama-sama menciptakan dunia yang tidak hanya inklusif bagi kaum muda, tetapi juga digerakkan oleh kaum muda.
Iklim, Keadilan, dan Beban Warisan
Mungkin isu yang paling mendesak yang mendefinisikan kesadaran kaum muda saat ini adalah krisis iklim. Tidak seperti generasi sebelumnya, yang dibesarkan di bawah mitos pertumbuhan tak terbatas dan optimisme teknologi, kaum muda saat ini mewarisi dunia yang berada di tepi ekologi. Kenaikan permukaan laut, gelombang panas yang memecahkan rekor, keruntuhan keanekaragaman hayati, dan perpindahan lingkungan bukanlah hasil teoretis—mereka adalah bagian dari pengalaman hidup mereka. Bagi banyak orang, ancaman keruntuhan iklim yang membayangi bukanlah kemungkinan yang jauh tetapi penentu pilihan hidup mereka: apakah akan memiliki anak, di mana tinggal, bagaimana bepergian, atau karier mana yang akan dikejar.
Namun meskipun terkena dampak degradasi lingkungan secara tidak proporsional, kaum muda sering kali mendapati diri mereka dikecualikan dari negosiasi iklim utama dan arena pembuatan kebijakan. Suara mereka terdengar di protes, di media sosial, dan di jalanan—tetapi jarang di meja kekuasaan tempat keputusan dibuat. Munculnya tokoh-tokoh seperti Greta Thunberg atau Vanessa Nakate telah memicu pengakuan global, tetapi bahkan mereka menghadapi tokenisasi, penolakan, atau permusuhan langsung di ruang institusional. Pertanyaannya, bukan apakah kaum muda terlibat dalam aksi iklim, tetapi apakah struktur pemerintahan siap untuk terlibat dengan mereka secara bermakna.

Pada saat yang sama, aksi iklim yang dipimpin oleh kaum muda sangatlah interseksional. Gerakan keadilan lingkungan saat ini tidak terisolasi dari keadilan rasial, hak-hak masyarakat adat, isu-isu ketenagakerjaan, atau kesehatan mental. Penyelenggara muda memahami keterkaitan sistem—mereka tahu bahwa masa depan yang hijau juga harus adil secara sosial, adil secara ekonomi, dan berakar pada kepedulian komunitas. Dari litigasi iklim yang diajukan oleh remaja hingga kolektif pertanian regeneratif dan inkubator keberlanjutan perkotaan, kaum muda memodelkan masa depan alternatif yang tidak bergantung pada ekstraksi, eksploitasi, atau kebijakan yang bersifat performatif.
Kejelasan visi ini—sangat realistis namun secara etis luas—adalah sesuatu yang tidak bisa lagi diabaikan oleh dunia. Oleh karena itu, Hari Pemuda Internasional harus menjadi platform tidak hanya untuk perayaan tetapi juga untuk akuntabilitas institusional. Sudah saatnya mendistribusikan kembali tidak hanya sumber daya tetapi juga kepercayaan, visibilitas, dan pengaruh. Pemuda bukanlah pemimpin masa depan—mereka adalah pemimpin saat ini.
Identitas Digital, Ekspresi, dan Politik Visibilitas
Sfera digital adalah tempat bermain sekaligus medan pertempuran bagi kaum muda saat ini. Bagi Gen Z, identitas sering kali dilakukan, dinegosiasikan, dan ditantang secara online. Media sosial tidak lagi sekadar platform hiburan—ini adalah ruang di mana aliansi politik dibentuk, jati diri dieksplorasi, dan aktivisme diluncurkan dalam skala global. Apakah itu Black Lives Matter di TikTok, kampanye bantuan timbal balik di Instagram, atau utas pendidikan dekolonial di X (sebelumnya Twitter), kefasihan digital telah menjadi alat untuk bertahan hidup dan perlawanan.
Namun, kebebasan berekspresi online disertai dengan bentuk baru pengawasan, sensor, dan bias algoritmik. Di banyak bagian dunia, aktivis muda menghadapi pelecehan digital, pemantauan negara, atau penghapusan platform saat berbicara kebenaran kepada kekuasaan. Selain itu, platform media sosial, meskipun tampak demokratis, sering kali mereplikasi ketidaksetaraan offline: memprioritaskan norma kecantikan Eurocentris, memperkuat pencipta tertentu dibandingkan yang lain, atau mendepolitisasi konten yang menantang status quo.
Tekanan untuk menampilkan identitas "dapat dipasarkan" secara online juga berkontribusi pada meningkatnya masalah kesehatan mental. Garis antara keaslian dan visibilitas menjadi kabur, dan banyak anak muda merasa terjebak dalam logika algoritma—merasa bahwa nilai mereka diukur dengan metrik: suka, berbagi, pengikut. Ekonomi perhatian ini tidak hanya mendistorsi persepsi diri tetapi juga menciptakan hierarki pengaruh baru yang menguntungkan mereka yang sudah memiliki privilese.

Meski demikian, pemuda terus berinovasi dalam batasan digital. Banyak yang beralih ke bentuk baru penceritaan digital, penerbitan sumber terbuka, atau platform yang dijalankan komunitas untuk merebut kembali otonomi. Yang lain memperjuangkan hak digital, teknologi etis, dan desain inklusif. Keterlibatan mereka tidak terbatas pada konsumsi—mereka menuntut perancangan ulang. Dan perancangan ulang itu mencakup bagaimana data dimiliki, bagaimana konten dimoderasi, dan bagaimana internet dapat lebih mencerminkan keragaman identitas pemuda global.
Pada Hari Pemuda Internasional, penting untuk diakui bahwa akses ke ruang digital bukan lagi kemewahan tetapi hak. Investasi dalam infrastruktur, literasi digital, dan keamanan online harus menjadi bagian dari komitmen serius terhadap pemberdayaan pemuda. Sama seperti internet telah menjadi medan ekspresi pemuda, internet juga harus menjadi tempat perlindungan dan inklusi politik pemuda.
Pekerjaan, Martabat, dan Redefinisi Kesuksesan
Bidang lain di mana pemuda menantang narasi dominan adalah dunia kerja dan tenaga kerja. Mewarisi ekonomi pasca-pandemi yang ditandai dengan inflasi, ketidakamanan pekerjaan, dan runtuhnya jalur karier tradisional, banyak anak muda menolak jalur linear yang ditetapkan untuk generasi sebelumnya. Impian pekerjaan yang aman, hipotek, dan pensiun semakin sulit dijangkau—bukan karena pemuda kurang ambisi, tetapi karena sistem tidak lagi menawarkan jaminan tersebut. Akibatnya, kesuksesan sedang didefinisikan ulang secara real time.
Bagi banyak orang, redefinisi tersebut mencakup penolakan terhadap produktivitas beracun, menuntut perlindungan tenaga kerja yang lebih baik, atau memilih pekerjaan yang selaras dengan nilai-nilai pribadi. Munculnya budaya "anti-hustle", popularitas minggu kerja empat hari, dan ledakan ekonomi freelance atau kreator adalah sinyal pergeseran generasi. Anak muda tidak hanya bertanya bagaimana bertahan hidup dalam kapitalisme—tetapi bagaimana hidup dengan martabat di dalam atau di luar itu.
Pada saat yang sama, akses ke pekerjaan masih sangat terstratifikasi. Pemuda di Global Selatan menghadapi tingkat pengangguran yang mencengangkan, sering kali diperburuk oleh sistem ekonomi global yang memprioritaskan keuntungan daripada manusia. Pemuda pengungsi, pemuda LGBTQ+, dan pemuda penyandang disabilitas menghadapi lapisan diskriminasi tambahan. Tanpa sistem pendidikan yang inklusif dan perlindungan sosial, seruan untuk inovasi dan kewirausahaan terdengar hampa. Pemberdayaan harus disertai dengan akses sistemik ke peluang.

Organisasi yang ingin menarik dan mempertahankan bakat muda harus melampaui keragaman performatif atau janji samar tentang "fleksibilitas." Yang diinginkan pemuda adalah pekerjaan yang bermakna, upah yang adil, dukungan kesehatan mental, dan jalur menuju kepemimpinan. Mereka ingin dihargai tidak hanya untuk tenaga kerja mereka, tetapi juga untuk ide-ide mereka. Dan mereka bersedia meninggalkan institusi yang gagal selaras dengan etika mereka.
Pada Hari Pemuda Internasional ini, kita diingatkan bahwa pemuda bukan hanya "karyawan masa depan"—mereka adalah kritikus, rekan pencipta, dan visioner tentang apa yang bisa menjadi pekerjaan. Dan visi itu mencakup tidak hanya bentuk produktivitas baru, tetapi juga definisi baru tentang nilai, tujuan, dan kesejahteraan bersama.
Kesimpulan: Mendengarkan Saja Tidak Cukup—Saatnya Bertindak
Hari Pemuda Internasional adalah pengingat kuat bahwa anak muda tidak menunggu izin untuk mengubah dunia. Mereka sudah melakukannya—di ruang kelas dan protes iklim, dalam kode dan kebun komunitas, dalam tagar dan hackathon. Namun kapasitas mereka untuk memimpin harus diimbangi dengan kepercayaan sistemik, reformasi institusional, dan solidaritas antargenerasi. Tidak lagi cukup untuk merayakan energi, kreativitas, atau inovasi mereka dalam kata-kata. Yang dibutuhkan adalah reorientasi mendasar dari kebijakan, pendidikan, industri, dan pemerintahan di sekitar nilai-nilai yang berpusat pada pemuda.
Ini berarti memberikan kursi nyata kepada anak muda di meja—bukan panel pemuda simbolis tetapi kekuatan pengambilan keputusan. Ini berarti mendanai proyek mereka, mempekerjakan mereka dalam peran kepemimpinan, dan melindungi hak-hak mereka di dunia digital dan fisik. Ini berarti melihat pemuda bukan sebagai masalah yang harus dikelola, tetapi sebagai mitra yang harus diberdayakan.
Ketika planet ini menghadapi transformasi yang belum pernah terjadi sebelumnya—secara ekologis, sosial, teknologi—urgensi mendengarkan pemuda tidak pernah lebih besar. Namun mendengarkan, dengan sendirinya, tidaklah cukup. Tindakan, perubahan struktural, dan komitmen jangka panjang adalah yang akan menentukan apakah Hari Pemuda Internasional tetap menjadi peringatan simbolis atau menjadi katalis untuk keadilan antargenerasi.
Dalam suara anak muda, kita mendengar masa depan berbicara. Sudah saatnya kita tidak hanya mendengarkan mereka—tetapi mengikuti jejak mereka.