Konfusianisme: Ideologi Ortodoks di Tiongkok Feodal
Konfusianisme, Taoisme, dan Buddhisme merupakan inti dari budaya tradisional Tiongkok. Hubungan antara ketiganya ditandai oleh persaingan dan pelengkap dalam sejarah, dengan Konfusianisme memainkan peran yang lebih dominan.
Konfusius, pendiri Konfusianisme, menekankan "ren" (kebajikan, cinta), dan "li" (ritual, mengacu pada penghormatan terhadap sistem hierarki sosial). Mencius menganjurkan kebijakan "pemerintahan yang baik". Konfusianisme menjadi ideologi ortodoks di Tiongkok feodal, dan dalam perjalanan sejarah yang panjang, ia menarik dari Taoisme dan Buddhisme. Pada abad ke-12, Konfusianisme telah berkembang menjadi filosofi kaku yang menyerukan "mempertahankan hukum surgawi dan menekan keinginan manusia".
Taoisme: Filosofi Ketidakberdayaan dan Relativisme
Taoisme diciptakan oleh Laozi (sekitar abad ke-6 SM), yang mahakaryanya adalah Klasik Kebajikan Tao. Dia percaya pada filosofi dialektika ketidakberdayaan. Seperti kata pepatah Tiongkok, "Keberuntungan terletak dalam kemalangan dan sebaliknya." Zhuangzi, pendukung utama Taoisme selama Periode Negara Berperang, mendirikan relativisme yang menyerukan kebebasan mutlak dari pikiran subyektif.
Taoisme memiliki bobot yang sama dengan Konfusianisme dalam budaya Tiongkok, sementara Konfusianisme memainkan peran yang lebih jelas dalam politik Tiongkok. Kedalaman teori Taoisme menyediakan sumber utama bagi hampir semua tradisi filsafat Tiongkok lainnya. Pengaruh Taoisme dalam seni, lukisan, sastra, dan ukiran Tiongkok lebih penting daripada filosofi lainnya di Tiongkok. Dapat dikatakan bahwa seni tradisional Tiongkok adalah seni Taoisme. Sementara itu, Taoisme menyediakan pilihan alternatif bagi kaum intelektual Tiongkok selain dari ideal Konfusian untuk terlibat aktif dalam masyarakat.
Buddhisme: Dari India ke Lokalisasi Tiongkok
Buddhisme diciptakan oleh Sakyamuni di India sekitar abad ke-6 SM. Mempercayai bahwa kehidupan manusia adalah sengsara dan pembebasan spiritual adalah tujuan tertinggi yang harus dicari, Buddhisme diperkenalkan ke Tiongkok melalui Asia Tengah sekitar waktu kelahiran Yesus Kristus. Setelah beberapa abad asimilasi, Buddhisme berkembang menjadi banyak sekte pada dinasti Sui dan Tang dan menjadi terlokalisasi. Itu juga merupakan proses ketika budaya asli Konfusianisme dan Taoisme bercampur dengan Buddhisme. Buddhisme Tiongkok memiliki pengaruh besar pada ideologi dan seni tradisional. Buddhisme telah mengembangkan beberapa aliran yang berbeda dari aliran asal India. Contoh paling menonjol dengan nilai filosofis adalah Zen, Sanlun, Tiantai, dan Huayan. Mereka menyelidiki kesadaran, tingkat kebenaran, apakah realitas pada akhirnya kosong, dan bagaimana pencerahan dapat dicapai.
Zhu Xi dan Perkembangan Neo-Konfusianisme
Zhu Xi (1130—1200), juga dikenal sebagai Zhuzi, adalah seorang filsuf dan komentator besar Dinasti Song. Dia adalah seorang sarjana Konfusian yang menjadi salah satu Neo-Konfusian paling signifikan di Tiongkok.
Zhu Xi lahir di tempat yang sekarang dikenal sebagai Kabupaten Youxi di Provinsi Fujian, di mana ayahnya bertugas sebagai pejabat, tetapi kota asalnya dianggap sebagai Wuyuan, yang sekarang berada di sudut timur laut Provinsi Jiangxi, tetapi saat itu merupakan bagian dari Huizhou, sebuah distrik tepat di selatan Huangshan. Dia menghabiskan bertahun-tahun mengajar di Pegunungan Wuyi di perbatasan modern Provinsi Fujian dan Jiangxi, dan juga sangat terkait dengan dua akademi Konfusian, Akademi Yuelu di Changsha dan satu di tempat peristirahatannya, Gua Rusa Putih di Lushan barat laut Danau Poyang.
Zhu Xi menganggap filsuf sebelumnya Xunzi sebagai bidah karena menyimpang dari keyakinan Konfusius tentang kebaikan manusia yang melekat. Zhu Xi berkontribusi pada filosofi Konfusian dengan merumuskan apa yang akan menjadi interpretasi Konfusian ortodoks dari sejumlah keyakinan dalam Taoisme dan Buddhisme. Dia mengadaptasi beberapa ide dari agama-agama pesaing ini ke dalam bentuk Konfusianismenya. Dia berpendapat bahwa semua hal dibawa ke dalam keberadaan oleh dua elemen universal, yaitu kekuatan vital dan prinsip hukum atau rasional. Sumber dan jumlah dari li adalah Taiji, yang berarti Ultimate Besar. Menurut Zhu Xi, Tai Ji menyebabkan qi bergerak dan berubah di dunia fisik, menghasilkan pembagian dunia menjadi dua mode energi (Yin dan Yang) dan lima elemen (api, air, kayu, logam, dan tanah). Dia tidak menganut ide tradisional tentang Tuhan atau Surga (Tian). Dia tidak mempromosikan pemujaan roh dan persembahan kepada gambar. Dia tidak setuju bahwa jiwa leluhur ada, melainkan percaya bahwa pemujaan leluhur adalah bentuk pengingatan dan rasa syukur.
Zhu Xi dan rekan-rekan sarjananya mengkodifikasi apa yang sekarang dianggap sebagai kanon klasik Konfusianisme: "Empat Buku", yang terdiri dari Pembelajaran Besar, Analek Konfusius, Mencius, dan Doktrin Jalan Tengah.
Selama Dinasti Song, ajaran Zhu Xi dianggap tidak ortodoks. Akibatnya, ide-idenya menyebabkan dia beberapa kali diberhentikan dari posisi resmi. Namun setelah dia meninggal, ajarannya mendominasi Konfusianisme. Majalah Life menempatkan Zhu Xi sebagai orang paling penting keempat puluh lima dalam milenium terakhir. Dia juga berpengaruh di Jepang, di mana para pengikutnya disebut sekolah Shushigaku.
Harmoni Antara Manusia dan Alam: Filsafat Tiongkok yang Unik
Sejak tahun 2500 SM, orang Tiongkok mulai melakukan pengamatan astronomi dan survei geografis, dan secara bertahap membentuk pandangan dunia tentang "integrasi alam semesta dan kemanusiaan" (harmoni manusia dengan alam).
Filsafat Tiongkok, berbeda dengan pemikiran Barat, sejak awal menekankan imanensi dan kesatuan. Dualisme Barat mengarah pada oposisi antara manusia dan alam, tetapi monisme Tiongkok mengarah pada harmoni antara keduanya. Sebagian besar filsuf Tiongkok berbagi pandangan unik ini, tidak peduli seberapa berbeda pandangan mereka.
Teori bahwa manusia adalah bagian integral dari alam pertama kali muncul pada periode Musim Semi dan Musim Gugur serta periode Negara Berperang. Dengan elaborasi Dong Zhongshu pada Dinasti Han, teori ini dirangkum dan disajikan dengan jelas oleh Sekolah Konfusianis idealis pada dinasti Song dan Ming. Teori ini, sebagai gagasan dasar dalam filsafat Tiongkok, menegaskan bahwa politik dan etika manusia adalah cerminan langsung dari alam.
Menurut sarjana terkenal, Ji Xianlin, masing-masing dari empat karakter Tiongkok tersebut masing-masing berarti alam, manusia, saling pengertian dan persahabatan, dan kesatuan. Sementara orang Barat selalu mencoba menaklukkan dan menjarah dari alam dengan teknologi yang semakin maju, para bijak Timur kuno menasihati bahwa manusia hanyalah bagian kecil dari, dan terkait erat dengan dunia. Pemikiran ini bersifat universal dalam budaya Tiongkok. Misalnya, set teh tradisional Tiongkok selalu memiliki tiga bagian: tutup, cangkir, dan nampan, yang masing-masing melambangkan langit, manusia, dan bumi. Dalam contoh lain, orang Tiongkok menekankan reuni keluarga, dan menganggap hubungan keluarga yang harmonis sebagai pencapaian dan kesenangan besar dalam hidup, sementara orang Barat umumnya lebih individual, mandiri, dan petualang.
Proposisi ini juga merupakan idiom Tiongkok. Karakter ini memiliki makna yang berbeda dalam berbagai aliran filsafat Tiongkok, dan dapat dirangkum menjadi tiga kategori: pemerintahan tertinggi, alam secara umum, dan prinsip tertinggi.
Manusia adalah bagian integral dari alam dan komponen dari langit dan bumi, atau alam. Oleh karena itu, manusia juga harus mematuhi hukum alam. Teori ini juga berpendapat bahwa prinsip etika konsisten dengan aturan alam. Ideal hidup adalah mencapai harmoni antara manusia dan alam.
Di Tiongkok kuno, ada tiga jenis teori khas mengenai hubungan antara manusia dan alam: teori Zhuangzi tentang menyesuaikan diri dengan alam, teori Xunzi tentang mengubah alam, dan hubungan harmonis antara manusia dan alam yang dianjurkan dalam Kitab Perubahan. Sejak gagasan Barat tentang "menaklukkan alam" menyebar ke Tiongkok, teori positif Xunzi, dibandingkan dengan sikap pasif Zhuangzi, sangat dihargai.
Namun, penekanan pada "menaklukkan alam" juga dapat menyebabkan membahayakan alam dan menghancurkan kondisi hidup dasar bagi manusia. Di sisi lain, gagasan yang menganjurkan harmoni manusia dengan alam memiliki signifikansi besar dalam menjaga keseimbangan ekologi. Teori ini seimbang dengan penekanan baik pada mengubah maupun mematuhi alam. Orang seharusnya tidak menundukkan, atau menghancurkan alam, dan hubungan antara keduanya harus dikoordinasikan dan diharmoniskan.
Pencerminan konsep filosofis, "integrasi alam semesta dan kemanusiaan", dapat ditemukan dalam estetika Tiongkok dan hampir semua bidang lainnya, seperti lukisan, arsitektur, pengobatan, drama, catur, dan musik.